Presiden ANC Youth League, sebuah organisasi kepemudaan dari partai yang tengah berkuasa pimpinan Presiden Jacub Zuma, Julius Malema beberapa hari lalu menulis tentang sebuah kenyataan dan ironitas tentang bagaimana sesungguhnya realitas yang terjadi di masyarakat luas tentang keberadaan gelaran hebat yang menghabiskan minimal 15 miliar rand, hanya untuk membangun stadion perhelatan putaran final Piala Dunia 2010.
Mata dunia memang bakal terpancung ke arah Afsel sebagai tuan rumah. Namun di sisi lain, jenjang sosial yang terbilang besar menjadi ancaman besar bagi eksistensi di lapangan hijau yang mendambakan suasana damai dan tenang. Pun begitu yang diinginkan para suporter dari 31 negara lain.
Inti tulisan dari tokoh muda nan berpengaruh di Afsel tersebut tak lain seolah menohok muka FIFA dan panitia penyelenggara putaran final Piala Dunia 2010. Kalau FIFA punya slogan football will bring South Africa to Unite, Malema punya anekdot lain, yakni football never make South Africa Unite, just proud and bring to meet one another people alias sepakbola tak pernah menyatukan, melainkan hanya memberi kebanggaan sesaat dan mempertemukan orang Afsel, bukan menyatukan.
Dan itulah yang memang terjadi di lapangan. Saya, yang sudah berada di Afsel sekitar dua hari masih bisa merasakan betapa jurang itu masih menganga, tapi dalam kondisi serba kebalikan. Jika 16 tahun silam orang kulit putih alias colour begitu menguasai semua aspek, kini berbalik 180 derajad. Nyaris semua sendi dikuasai orang kulit hitam, sementara orang kulit putih hanya tersisa 10 persen dari populasi 48 juta jiwa.
Saat kami berjalan menuju stadion Soccer City di Soweto, kota di bawah Johannesburg, sopir yang membawa saya ke sana, kebetulan orang kulit putih bernama Phillips, masih terasa ragu dan takut untuk masuk ke ‘sarang’ orang kulit hitam. Ketakutan tersebut bukannya tanpa sadar, melainkan siapapun tahu di seantero negeri Afsel, wilayah Soweto adalah kawasan paling berbahaya di Afsel bagian utara. Tingkat kriminalitas begitu tinggi, dan meski menjadi tuan rumah, sistem kejahatan mereka tetap berjalan, bahkan terasa lebih rapi akibat campur tangan para mafia yang kemungkinan bermain di sana.
Lihat saja, sepanjang persiapan menuju putaran final Piala Dunia 2010, terjadi rata-rata 51 kasus pembunuhan per hari dan 100 perkosaan per hari! Selain itu, catatan kepolisian setempat mengungkapkan data yang membuat saya miris, yakni 39 kali pembajakan mobil per hari dan 219 kasus pencurian mobil per hari!. Bukan bermaksud menggambarkan sebuah kejelekan dan menakut-nakuti, tapi lebih pada sikap waspada jika ada pembaca yang bakal menonton langsung pertandingan di negeri Ayoba ini.
Tidak hanya sisi negatif yang saya rasakan, banyak hal positif yang membuat keyakinan piala dunia pertama di benua Afrika ini bakal berlangsung sukses. Hal yang paling terasa tentu saja pada makin banyaknya infrastruktur yang membuat orang yang berstatus tamu bisa menikmati nuansa eksotis Afsel.
Seluruh penginapan, mulai dari motel, apartemen maupun hotel berbintang mendapat tugas khusus agar sang tamu bisa betah di tanah mereka. Masing-masing karyawan mendapat bekal khusus tentang pengetahuan sepakbola, terutama profil kota-kota penyelenggara turnamen empat tahunan ini.
“Mungkin Afsel tak akan bersatu penuh, tapi kami memiliki banyak pengalaman terutama kebiasaan baru terhadap pelbagai tamu yang datang. Saya harap ini bisa menjadi modal promosi hebat bagi kami di mata international. Tolong, Afsel adalah negara aman jika Anda bisa menikmatinya,” komentar Lydia Westermen, persona public manager di Linda Hamilton Hotel, Cape Town.
Ungkapan hati Lydia mungkin bisa menjadi perwakilan dari puluhan juta penduduk Afsel yang menginginkan euforia menjadi tuan rumah bisa berlanjut. Tak hanya sampai sebulan ke depan, tapi selamanya dengan tingkat perekonomian dan persatuan yang makin membaik. Artinya, jika suatu saat Mandela pergi, dia bisa tersenyum puas karena perjuangannya tak sia-sia. Siyabangi! (tribunnews.com/bud)
Sumber:www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar